Karena Ayah mencintaiku
Hikari Hana
Siang
itu.. panasnya mentari seperti membakar kulitku. Aku tak memperdulikannya dan
tetap mengayuh sepeda mini kesayanganku dari halaman rumah. Belum terlalu jauh,
kulihat segerombol orang yang tak asing lagi. Semakin mendekat, semakin kutahu
ternyata mereka adalah teman sekolahku. Hingga akhirnya terdengar suara, salah
satu dari mereka menyapaku.
“Hey,
kamu mau kemana?” sapa salah satu dari mereka.
“Ada
acara latihan volley. Kenapa?” jawabku singkat.
“Loh,
kita ini mau ke rumahmu. Masak kamu tegah sih? Setidaknya persilahkan kita
masuk sebentar. Gerah nih..”
Apa kau tega? Sebentar
saja! Bisik suara hatiku. Setelah kupertimbangkan beberapa
hal dan akhirnya luluh juga. Mau tak mau, aku pun berbalik arah untuk kembali
ke rumah bersamanya. Meski prasangkaku tak enak, tapi kucoba membuang jauh-jauh prasangka
itu.
Menit
berganti menit. Awalnya berjalan seperti biasa. Namun tak lama kemudian menjadi
sebuah petaka. Entahlah, apa yang kita bicarakan hingga gelak tawa membahana terdengar
disegala penjuru. Setelah temanku pergi, saat itu juga aku dipanggil oleh Ayah.
Dengan
tergesa-gesa kumenghampirinya. Aku cemas.
Apa yang akan Ayah kata kan? Ah semoga baik-baik saja. Mencoba menghibur
diriku sendiri.
“Ada
apa, Yah?” tanyaku. Kedua bola mata Ayah memerah.
“Be’en riyah reng binek, tak lebur e’eding
agih agejek bik reng lakek apa poleh eyabes agih. Kamu ini perempuan, tak
enak di dengar bergura dengan laki-laki apa lagi di lihat” kata Ayah dengan marah.
“Sengak be’en ngebe kanca reng lakek poleh!
Awas kamu bawa laki-laki lagi! Apa poleh
benyak engak ruwah. Apa lagi banyak seperti itu” lanjut Ayah.
Diam, hanya itu yang bisa kulakukan. Takut
akan kemarahan Ayah semakin besar. Kuberanikan diri tuk menatap wajahnya
kembali, kedua bola matanya terbelalak mengisaratkan bahwa ayah saat ini
benar-benar marah padaku. Dan akhirnya Ayah meninggalkanku dengan tampang
bersalah.
Hey,
ini semua ulahmu!! Suara hatiku menyalahkanku. Dalam hitungan detik, aku
berhambur ke kamar. Embun yang menggatung di pelupuk mata tak terbendung lagi.
Aku menjerit. Tapi tak ada seorang pun yang mendengarku.
Terkekang. Merasa tak bebas.
Begitulah yang kurasa masa itu. Aku sering bertingkah karena itu Ayah sering
kali memarahiku. Mungkin, akibat rasa iri dengan temanku yang lain.
Kini,
aku baru memahami semuanya setelah aku merantau jauh darimu, Yah.. Begitulah
cara Ayah mendidikku. Begitulah cara Ayah menjagaku dengan cara berbeda.
Begitulah cara Ayah menyampaikan rasa cintanya padaku. Begitulah cara Ayah…
Cinta
Ayah sebesar cinta Ibu, bahkan mungkin terlalu besar untukku.
Terimakasih
banyak Ayah.. Bagiku, kata terimakasih pun tak cukup untuk membalas semua yang
Ayah lakukan untukku. Sampai saat ini, aku belum bisa melakukan banyak hal
untukmu. Maafkan aku, Yah..
Mencoba
tak mengecewakan Ayah. Aku tak ingin melihat wajah Ayah yang memberikan isyarat
kecewa dan khawatir. Ayah tetap tegas padaku meski kini tubuh mulai rapuh
temakan usia.
Suatu
ketika aku membaca postingan seperti ini; Selangkah
anak perempan keluar dari rumah tanpa mentup aurat, maka selangkah juga Ayahnya
itu hampir ke Neraka. Aku tak mau hanya karenaku, Ayah... Untukmu, untukku
dan untuk semuanya, kini kumencoba mendekatkan diri panda Robbku. Menjaga iffah dan izzahku..
Jember,
19 Oktober 2013
Uhibbuka fillah, Ayah
Biodata Penulis;
Hikari
Hana adalah nama pena Khuszaimah Yanuar yang berasal dari kota Probolinggo Jawa
Timur. Penulis dapat dihubungi lewat e-mail HikariHana_93@yahoo.co.id atau
facebook Hikari Hana