Sesampai
di parkiran Fakultas MIPA, dari arah masjidnya masih terdengar dari kejauhan
suara tausiyah atau ceramah atau juga diskusi atau apalah jenis kegiatannya
saya kurang begitu mengerti. Yang jelas masih belum adzan untuk wilayah FMIPA
UNEJ, padahal di tempat lain sudah bersahut-sahutan suara adzan. Saya menuju
masjid bagian ikhwan dan acaranya pun tiba-tiba selesai. Saya disambut oleh beberapa
orang di serambi masjid yang sedang mempersiapkan makanan dan minuman untuk
berbuka. Terlihat ada beberapa gelas yang sudah terisi air, tersedia juga
beberapa buah kurma yang sudah di bungkus rapi dengan plastik berukuran
kecil-kecil, di sampingnya ada beberapa kotak nasi.
Beberapa
menit kemudian muncl dari masjid seorang yang tidak asing bagi saya, wajahnya
berseri-seri, mudah senyum, dan bicara pun sopan. Ia adalah salah sat personel
DNA (Djember Nasyid Acapella) yang pernah tampil ketika acara Talkshow bareng Kang Abik di Telkom tapi
saya belm tau namanya. Untuk sementara biar saya sebut Acap. Sepertinya Acap
adalah pimpinan organisasi IONS (hehe, cuma nebak saja).
Adzan
pun berkumandang, mahasiswa satu-persatu dari arah timur mlai berdatangan.
Sambil menyantap buah kurma, tiba-tiba saja HP Acap berbunyi. Mereka
berbincang.
“Dari
mana Mas?” Acap mulai bertanya seperti sudah kenal dan akrab saja dengan saya,
padahal nama saja kami sama-sama tidak tau.
“Owh,
dari syuro’ FLP barusan di UPT TI
mas.” Jawab saya.
“Sampean di Jember tinggal ndek mana?”
“Di
Al-Qodiri, Mas.”
Acap
hanya mangut-mangut. Pembicaraan pun putus sebentar karena teman-temannya
menyapa. Mereka bertegur sapa. Menyapa saya kembali.
“Mas,
nanti sampean jangan pulang dulu ya.
Ngimami taraawih di sini.”
Saya
nelen ludah.
“Ya,
sekalian mimpin khotbah di sini.” Lajutnya lagi.
Gak
salah? Kok tiba-tiba saya disuruh ngimami? Nawarin kayak gitu didengerin banyak
orang lagi? Apa yang istimewa dari saya? Apa karena saya pakek songkok ia
menganggap saya orang ‘alim? Jika
begitu, ini salah besar! Karena pada kenyataannya saya masih jauh dari kata ‘alim itu sendiri. Nggak tau apa-apa malahan. Dan ketika itu juga saya nggak bisa berkata apa-apa kecuali hanya
dalam hati saja,”Waduh, saya musti gimana nih? Saya ini orangnya kayak gini kok
disuruh ngimami apalagi khotbah? Malah berabe entar! Harus cari cara paling
jitu untuk menolaknya.” Akhirnya saya diamkan saja. Diam bkan tidak mau
menanggapi sama sekali. Ini diamnya diam binggng, antara siap atau tidak.
Suasana
di bagian ikhwan hening hanya terdengar suara dari bagian akhwat yang tersatir
papan tulis dengan golongan ikhwan. Kemdian saya hendak mengambil wudlu. Pertanyaan susulan menghentikan
langkahku ketika menju tempat wudhu,
“Bagaimana Mas, nanti bisa kan ngimami? Ya, sekali-kali gitu.”
Akhirnya
saya duduk lagi, tiba-tiba sebuah alasan muncul “Waduh, maaf, Mas. Saya
ditunggu teman-teman saya di pondok. (Bullshit!*).”
“Ya,
sms temannya kan bisa. Bilang kalau nanti saja setelah terawih ketemu saya.”
Aduh, mau ngomong apalagi nih?
Pikir saya. “Ya.. masak harus saya Mas? Yang lebih pantas dari saya kan
banyak.” Saya memastikan.
“Sampean
kan pakek songkok, dari pesantren. Masalahnya, disini itu orang yang dikasi
jadwal nggak bisa datang. Tadi baru
bilang. Makanya gak ada yang ngisi.”
Nah,
kana pa ku bilang? Dia menilai saya dari luarnya saja. Acap belum tau siapa
saya. Kalau sudah tau mungkin ya, moh..
moh.. gitu. Atau dia mengatakan seperti itu niatnya hanya bergurau saja.
Haha, ndak tau lah.
“Jangan
lihat saya dari songkoknya, Mas. Bener saya pakek songkok, dari pesantren tapi
ditanya masalah agama ndak tau sama
sekali. Haha.”
“Hus,
ndak boleh ngomong gitu.”
Akhirnya
saya diam lagi.. tak ada pembicaraan. Beberapa menit kemudian saya menyahut,”Ya
sudah Mas ya, saya mau ambil wudhu
dulu. Tanpa menunggu Acap merespon, saya langsung berdiri lagi dan cepat-cepat
menuju tempat wudhu.
Ketika
wudhu, saya masih kepikiran tentang
Acap yang menanyaiku dengan nada serius banget. Bagaimana mungkin dia langsung
menyuruh saya untuk menjadi imam sholat terawih dan memimpin khotbah, sedang
seumur-umur saya tidak pernah jadi imam sholat apalagi memimpi khotbah? Ma
mimpin khotbah tarawih bagaimana, la wong selama saya di pondok ini tidak
pernah pakai acara khotbah ketika terawih? Tapi saya maklum sekali, memang ada
perbedaan. Jika terawehnya menggunakan 8 rakaat (kebanyakan) berarti ada
khotbah di dalamnya, tapi kalau yang 20 rakaat seperti di pondok saya itu tidak
ada khotbah. Jadi langsung sambung ke sholat witir. Tapi saya tidak pernah
mempermasalahkan perbedaan rakaat sholat tarawih karena hal tersebut akan
membuat saya malas untuk sholat terawih. Mau pakek yang 8 oke, yang 20 rakaat
juga oke. Yang saya permasalahkan sekarang adalah kesiapan. Siap atau tidak?
Sudah itu saja. Tetapi posisiku ketika it tidak siap sama sekali dan memang
tidak ada persiapan. Dadakan sih. Jadi saya memutuskan untuk menolak.
Kalau
ditanya masalah pakaian? Saya ini loh pakaiannya Cuma hem lengan pendek jaket
hitam, celana juga hitam, bersongkok bundar hitam, dan membawa tas ransel warna
hitam. Semua serba hitam pokoknya dah. Kayak preman bersongkok. Haha. Gitu kok
dikira ‘alim.. haduh, salah besar.
Hmm, setelah dipikir-pikir, saya kok ngerasa bener-bener gak siap ya. Materi
apa yang mau disampein juga gak ada.
Ya sudah lah, pokoknya saya nggak
siap dan gak mau. Mantep dah!
Setelah
wudhu, saya langsung menuju ke dalam
masjid, ternyata sholat sudah dimulai. Ketika saya datang, sang imam membaca
surat pendek. Surat apa yang dibaca saya tidak tau. sepertinya sang imam adalah
Hafidz. Setelah kulihat siapa imamnya
ternyata si Acap.
Sholat
pun selesai. Dilanjutkan dengan dzikir dan do’a sendiri-sendiri. Banyak orang
yang menegakkan sholat sunnah ba’diyah. Tapi tidak bagi saya. Saya
langsung melangkah keluar untuk balik ke pondok. Baru sampai serampi masjid,
langsung dipapas oleh beberapa orang yang sedari tadi mempersiapkan makanan
buka bersama,”Mau kemana, mas?”
“Mau
pulang Mas, ini sudah ditunggu” (Bullshit!**)
“Lho,
nggak buka di sini saja, Mas? Buka
bersama. Ayo buka dulu. Ditunggu siapa lo?”
“Ditunggu
teman-teman di pondok saya, Mas” (Bullshit!***) jawab saya sembari memasang
sepatu di tangga masjid.
Sudah
tiga kali bohong.
Perasaan
dan pikiran saya ketika itu sudah mantap tidak mau jadi imam dan memimpin
khotbah. Kalau saya lama-lama di masjid itu apalagi sampai buka bersama,
otomatis akan terjadi perbincangan lagi terkait masalah penawaran yang
sebelumnya sempat belum saya jawab. Dan khawatirnya saya jadi bersedia. Gawat
kalau saya siap secara mendadak alias tidak ada persiapan sama sekali. Toh
kalau pun saya siap ketika itu namanya bukan pemberani tapi NEKAT. Bagi saya,
NEKAT itu sama saja bunuh diri (Haaa… Saya nggak
mau membunuh diri saya sendiri).
“Ya
sudah, ini nasinya dibawa saja, Mas!” kata salah satu orang yang mempersiapkan
makanan untuk berbuka bersama itu.
Saya
pun menerimanya dan beranjak meninggalkan seraya berkata, “Terimakasih, Mas.”
Mereka
pun menjawab,”Ya, sama-sama”
Tidak
lupa juga, saya pamit dengan mengucapkan,”Assalamualaikum”
Secara
bersamaan mereka menjawab,”Walaikumsalam.”
***
*)**)***)
Saya berbohong sudah tiga kali. Tapi Allah tetap saja member Rizki. Buktinya
saya pulang dengan membawa satu kotak nasi. Hehe.
Prinsip
yang dimiliki oleh seseorang ternyata bisa juga hilang dalam sekejap ketika
dihadapkan dalam keadaan kepepet. Jujur itu susah sekali (aplikasinya). Apalagi
mencari orang-orang jujur zaman sekarang, seperti mencari mutiara di tengah
samudra. Sepele sekali memang kelihatannya, tetapi melakukannya susahnya minta
ampn.
Sering
mendengar ceramah, tausiah, atau himbauan untuk jujur, apalagi di bulan
Ramadhan yang penuh berkah ini, namn lagi-lagi pengalamannya adalah hal yang
sangat berat sekali. Memang sih, berbohong itu tidak membatalkan puasa tapi
pahala puasa berkurang bahkan bisa batal alias hilang sama sekali (Inilah puasa
orang awam).
Kalau
berbohong pada diri sendiri sih masih mending, urusannya hanya dengan Tuhan.
Lha kalau berbohong kepada orang lain itu urusannya jadi double, yah ke Tuhan. Ya ke orang yang dibohongi juga. Astaghfirullah.
Mudah-mudahan
ke depannya tidak terulang lagi, Ya robb, Amin.
***SELESAI***
Sahabat
fillah, pernah membaca atau mendengar kalimat seperti ini..
“Karena ketika lidahku tak mampu
mengucapkan banyak hal untuk mengubah dunia dan menghibur mereka, lewat
tulisanlah apa yang kupikirkan akan mampu diterima. Dengan menulis, aku bisa
melakukan apapaun. “
Yuuk, Menebarkan
kebaikan melalui tulisan ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu disini :)~~