Rabu, 18 September 2013

SUSAHNYA BERKATA JUJUR karya Jefi Hermawan

           Beberapa hari yang lalu, setelah syuro’ FLP kecil-kecilan di UPT TI UNEJ, teman saya yang masih kuliah di Fakultas MIPA dan kebetulan juga menjadi salah satu anggota organisasi IONS, nama organisasi ke-Islaman di Fakultas MIPA, menawarkan kepada saya berbuka puasa bersama anggota IONS di masjid Fakultas FMIPA. Awalnya saya tolak karena biasanya saya sudah di tunggu teman-teman saya di pondok. Tetapi karena waktunya sudah maghrib, saya pun memenuhi tawarannya.
Sesampai di parkiran Fakultas MIPA, dari arah masjidnya masih terdengar dari kejauhan suara tausiyah atau ceramah atau juga diskusi atau apalah jenis kegiatannya saya kurang begitu mengerti. Yang jelas masih belum adzan untuk wilayah FMIPA UNEJ, padahal di tempat lain sudah bersahut-sahutan suara adzan. Saya menuju masjid bagian ikhwan dan acaranya pun tiba-tiba selesai. Saya disambut oleh beberapa orang di serambi masjid yang sedang mempersiapkan makanan dan minuman untuk berbuka. Terlihat ada beberapa gelas yang sudah terisi air, tersedia juga beberapa buah kurma yang sudah di bungkus rapi dengan plastik berukuran kecil-kecil, di sampingnya ada beberapa kotak nasi.
Beberapa menit kemudian muncl dari masjid seorang yang tidak asing bagi saya, wajahnya berseri-seri, mudah senyum, dan bicara pun sopan. Ia adalah salah sat personel DNA (Djember Nasyid Acapella) yang pernah tampil ketika acara Talkshow bareng Kang Abik di Telkom tapi saya belm tau namanya. Untuk sementara biar saya sebut Acap. Sepertinya Acap adalah pimpinan organisasi IONS (hehe, cuma nebak saja).
Adzan pun berkumandang, mahasiswa satu-persatu dari arah timur mlai berdatangan. Sambil menyantap buah kurma, tiba-tiba saja HP Acap berbunyi. Mereka berbincang.
“Dari mana Mas?” Acap mulai bertanya seperti sudah kenal dan akrab saja dengan saya, padahal nama saja kami sama-sama tidak tau.
“Owh, dari syuro’ FLP barusan di UPT TI mas.” Jawab saya.
Sampean di Jember tinggal ndek mana?”
“Di Al-Qodiri, Mas.”
Acap hanya mangut-mangut. Pembicaraan pun putus sebentar karena teman-temannya menyapa. Mereka bertegur sapa. Menyapa saya kembali.
“Mas, nanti sampean jangan pulang dulu ya. Ngimami taraawih di sini.”
Saya nelen ludah.
“Ya, sekalian mimpin khotbah di sini.” Lajutnya lagi.
Gak salah? Kok tiba-tiba saya disuruh ngimami? Nawarin kayak gitu didengerin banyak orang lagi? Apa yang istimewa dari saya? Apa karena saya pakek songkok ia menganggap saya orang ‘alim? Jika begitu, ini salah besar! Karena pada kenyataannya saya masih jauh dari kata ‘alim itu sendiri. Nggak tau apa-apa malahan. Dan ketika itu juga saya nggak bisa berkata apa-apa kecuali hanya dalam hati saja,”Waduh, saya musti gimana nih? Saya ini orangnya kayak gini kok disuruh ngimami apalagi khotbah? Malah berabe entar! Harus cari cara paling jitu untuk menolaknya.” Akhirnya saya diamkan saja. Diam bkan tidak mau menanggapi sama sekali. Ini diamnya diam binggng, antara siap atau tidak.
Suasana di bagian ikhwan hening hanya terdengar suara dari bagian akhwat yang tersatir papan tulis dengan golongan ikhwan. Kemdian saya hendak mengambil wudlu. Pertanyaan susulan menghentikan langkahku ketika menju tempat wudhu, “Bagaimana Mas, nanti bisa kan ngimami? Ya, sekali-kali gitu.”
Akhirnya saya duduk lagi, tiba-tiba sebuah alasan muncul “Waduh, maaf, Mas. Saya ditunggu teman-teman saya di pondok. (Bullshit!*).”
“Ya, sms temannya kan bisa. Bilang kalau nanti saja setelah terawih ketemu saya.”
Aduh, mau ngomong apalagi nih? Pikir saya. “Ya.. masak harus saya Mas? Yang lebih pantas dari saya kan banyak.” Saya memastikan.
“Sampean kan pakek songkok, dari pesantren. Masalahnya, disini itu orang yang dikasi jadwal nggak bisa datang. Tadi baru bilang. Makanya gak ada yang ngisi.”
Nah, kana pa ku bilang? Dia menilai saya dari luarnya saja. Acap belum tau siapa saya. Kalau sudah tau mungkin ya, moh.. moh.. gitu. Atau dia mengatakan seperti itu niatnya hanya bergurau saja. Haha, ndak tau lah.
“Jangan lihat saya dari songkoknya, Mas. Bener saya pakek songkok, dari pesantren tapi ditanya masalah agama ndak tau sama sekali. Haha.”
“Hus, ndak boleh ngomong gitu.”
Akhirnya saya diam lagi.. tak ada pembicaraan. Beberapa menit kemudian saya menyahut,”Ya sudah Mas ya, saya mau ambil wudhu dulu. Tanpa menunggu Acap merespon, saya langsung berdiri lagi dan cepat-cepat menuju tempat wudhu.
Ketika wudhu, saya masih kepikiran tentang Acap yang menanyaiku dengan nada serius banget. Bagaimana mungkin dia langsung menyuruh saya untuk menjadi imam sholat terawih dan memimpin khotbah, sedang seumur-umur saya tidak pernah jadi imam sholat apalagi memimpi khotbah? Ma mimpin khotbah tarawih bagaimana, la wong selama saya di pondok ini tidak pernah pakai acara khotbah ketika terawih? Tapi saya maklum sekali, memang ada perbedaan. Jika terawehnya menggunakan 8 rakaat (kebanyakan) berarti ada khotbah di dalamnya, tapi kalau yang 20 rakaat seperti di pondok saya itu tidak ada khotbah. Jadi langsung sambung ke sholat witir. Tapi saya tidak pernah mempermasalahkan perbedaan rakaat sholat tarawih karena hal tersebut akan membuat saya malas untuk sholat terawih. Mau pakek yang 8 oke, yang 20 rakaat juga oke. Yang saya permasalahkan sekarang adalah kesiapan. Siap atau tidak? Sudah itu saja. Tetapi posisiku ketika it tidak siap sama sekali dan memang tidak ada persiapan. Dadakan sih. Jadi saya memutuskan untuk menolak.
Kalau ditanya masalah pakaian? Saya ini loh pakaiannya Cuma hem lengan pendek jaket hitam, celana juga hitam, bersongkok bundar hitam, dan membawa tas ransel warna hitam. Semua serba hitam pokoknya dah. Kayak preman bersongkok. Haha. Gitu kok dikira ‘alim.. haduh, salah besar. Hmm, setelah dipikir-pikir, saya kok ngerasa bener-bener gak siap ya. Materi apa yang mau disampein juga gak ada. Ya sudah lah, pokoknya saya nggak siap dan gak mau. Mantep dah!
Setelah wudhu, saya langsung menuju ke dalam masjid, ternyata sholat sudah dimulai. Ketika saya datang, sang imam membaca surat pendek. Surat apa yang dibaca saya tidak tau. sepertinya sang imam adalah Hafidz. Setelah kulihat siapa imamnya ternyata si Acap.
Sholat pun selesai. Dilanjutkan dengan dzikir dan do’a sendiri-sendiri. Banyak orang yang menegakkan sholat sunnah ba’diyah. Tapi tidak bagi saya. Saya langsung melangkah keluar untuk balik ke pondok. Baru sampai serampi masjid, langsung dipapas oleh beberapa orang yang sedari tadi mempersiapkan makanan buka bersama,”Mau kemana, mas?”
“Mau pulang Mas, ini sudah ditunggu” (Bullshit!**)
“Lho, nggak buka di sini saja, Mas? Buka bersama. Ayo buka dulu. Ditunggu siapa lo?”
“Ditunggu teman-teman di pondok saya, Mas” (Bullshit!***) jawab saya sembari memasang sepatu di tangga masjid.
Sudah tiga kali bohong.
Perasaan dan pikiran saya ketika itu sudah mantap tidak mau jadi imam dan memimpin khotbah. Kalau saya lama-lama di masjid itu apalagi sampai buka bersama, otomatis akan terjadi perbincangan lagi terkait masalah penawaran yang sebelumnya sempat belum saya jawab. Dan khawatirnya saya jadi bersedia. Gawat kalau saya siap secara mendadak alias tidak ada persiapan sama sekali. Toh kalau pun saya siap ketika itu namanya bukan pemberani tapi NEKAT. Bagi saya, NEKAT itu sama saja bunuh diri (Haaa… Saya nggak mau membunuh diri saya sendiri).
“Ya sudah, ini nasinya dibawa saja, Mas!” kata salah satu orang yang mempersiapkan makanan untuk berbuka bersama itu.
Saya pun menerimanya dan beranjak meninggalkan seraya berkata, “Terimakasih, Mas.”
Mereka pun menjawab,”Ya, sama-sama”
Tidak lupa juga, saya pamit dengan mengucapkan,”Assalamualaikum”
Secara bersamaan mereka menjawab,”Walaikumsalam.”
***
*)**)***) Saya berbohong sudah tiga kali. Tapi Allah tetap saja member Rizki. Buktinya saya pulang dengan membawa satu kotak nasi. Hehe.
Prinsip yang dimiliki oleh seseorang ternyata bisa juga hilang dalam sekejap ketika dihadapkan dalam keadaan kepepet. Jujur itu susah sekali (aplikasinya). Apalagi mencari orang-orang jujur zaman sekarang, seperti mencari mutiara di tengah samudra. Sepele sekali memang kelihatannya, tetapi melakukannya susahnya minta ampn.
Sering mendengar ceramah, tausiah, atau himbauan untuk jujur, apalagi di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, namn lagi-lagi pengalamannya adalah hal yang sangat berat sekali. Memang sih, berbohong itu tidak membatalkan puasa tapi pahala puasa berkurang bahkan bisa batal alias hilang sama sekali (Inilah puasa orang awam).
Kalau berbohong pada diri sendiri sih masih mending, urusannya hanya dengan Tuhan. Lha kalau berbohong kepada orang lain itu urusannya jadi double, yah ke Tuhan. Ya ke orang yang dibohongi juga. Astaghfirullah.
Mudah-mudahan ke depannya tidak terulang lagi, Ya robb, Amin.

***SELESAI***

      Sahabat fillah, pernah membaca atau mendengar kalimat seperti ini..
“Karena ketika lidahku tak mampu mengucapkan banyak hal untuk mengubah dunia dan menghibur mereka, lewat tulisanlah apa yang kupikirkan akan mampu diterima. Dengan menulis, aku bisa melakukan apapaun. “

Yuuk, Menebarkan kebaikan melalui tulisan ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu disini :)~~